Tentang "pit ONTHEL"

Sepeda onthel dulu hanya bisa dibeli kaum priayi alias bangsawan. Sebuah status "kelas atas" pun tersematkan dengan sendirinya. Di masa-masa perjuangan, kalau ada gadis naik sepeda merek Himber buatan tahun 1925 di depan kerumunan cowok, wah, hebat itu!

Sayang, dekade yang berlari semakin meminggirkan pit-pit (sepeda) onthel itu. Motorlah yang kini menjadi raja jalanan, sementara sepeda hanya dikayuh para pedagang kecil, pak tani, anak usia SD, buruh pabrik, atau hanya selingan dalam berkendara.

Tak banyak lagi yang mengenal bahkan melihat merek-merek sepeda kelas wahid zaman dulu, seperti Gazelle dan Simplex bikinan Belanda atau Hercules buatan Inggris. Sepeda-sepeda onthel itu sekarang hanya dimiliki para kolektor dan penggemar.

Meski begitu, toh kenangan atas kejayaan onthel tetap menjadi kerinduan sekaligus kebanggaan sehingga tak salah ketika kenangan itu disentil dalam Pameran Sepeda Onthel "Sepeda Doeloe Masih Ada Kini" di Rumah Budaya Tembi, Bantul pada 20-30 Juli.


Tentu saja, dengan ruangan terbatas, Paguyuban Onthel Djogjakarta selaku pemrakarsa pameran, tak bisa memajang hampir 350 sepeda para anggotanya. Hanya 34 sepeda kuno usia tertua buatan tahun 1906 dan usia termuda buatan 1960-an yang bisa dimasukkan ke ruangan.

Semua sepeda menyisakan rasa tertarik saat pengunjung memelototinya. Falter buatan Belanda 1960, misalnya, didesain untuk para tukang pos. Ada kerangka besi di atas ban roda depan sebagai tempat barang. Bagian bawahnya bisa ditekuk untuk dijadikan standar berdiri.

Ada lagi merek SNU, sepeda yang identik dengan suster-suster. Onthel made in Amerika Serikat tahun 1930-an ini memakai sistem rem torpedo. Kalau mengerem, maka pedal dikayuh ke belakang. Rangkanya juga satu kesatuan, tidak ada sambungan sehingga lebih ringkih.

Beranjak ke sudut lain, Hercules buatan Inggris tahun 1959 adalah untuk keperluan perang. Sudah pakai empat gigi persneling plus tas kulit dipalang untuk tempat pistol. Ada pula Columbia buatan Amerika yang tidak memakai rantai karena roda digerakkan dengan gardan seperti mobil.

Merek Triumph dari Inggris buatan 1906 juga masih orisinal bagiannya, kecuali ban. GB, begitu nama kunci pengaman roda belakang yang agak berkarat, memakai model digit. Ada lima pelat yang mesti dipencet benar supaya kunci terbuka.

"Wah kalau sepeda ini harganya mungkin sudah Rp 50 juta-an lebih. Tapi tidak dijual. Dalam pameran ini hanya beberapa sepeda dijual. Maklum, klangenan dan nyari-nya pun setengah mati," kata Towil, Ketua Paguyuban Onthel Djokjakarta.

Langka

Sepeda-sepeda ini tergolong amat langka. Merek Falter tadi, misalnya, kata Towil, diyakini di Indonesia sekarang jumlahnya tidak lebih 10 biji. Sepeda ini dulu adalah kendaraan wajib kantor pos di kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Sebuah proses panjang kalau bercerita perburuan sepeda-sepeda itu, dan tak jarang harus menanti setahun untuk mendapatkannya. Bahkan, ada sepeda yang didapat pada tempat tidak semestinya seperti sepeda milik Wahyu Wahono, kerabat (anggota) paguyuban itu.

Wahyu mendapati sepeda Simplex buatan Belada tahun 1920-an di rongsokan. Aksesori seperti kunci fort yang berupa jam bundar kecil masih menempel mesra di atas roda belakangnya. Sepeda lalu dicat ulang agar lebih menarik.

Towil tahun lalu mendapat BSA-nya dengan menyambangi rutin rumah pemiliknya, setiap hari selama dua bulan. Datang sopan dan "rayuan maut" harus telaten dilancarkan agar sepeda yang dipajang pada dinding rumah itu bisa berpindah ke pelukannya.

Akhirnya, sepeda bisa dibeli Rp 300.000, namun mesti ditambah dengan setumpuk janji pada si pemilik sepeda bahwa Towil akan merawat klangenannya itu sepenuh hati. Sepeda keluaran tahun 1930-an itu juga tidak boleh dijual.

Menyinggung pameran ini, kata Towil, paguyuban hanya ingin mengatakan bahwa sepeda itu migunani kangge sedaya (bermanfaat bagi semua). "Budaya bersepeda kini luntur, dan itulah keprihatinan kami," ucap Towil.

0 komentar: